Senin, 20 Mei 2013

penatalaksanaan hipertensi


(Aspek Farmakologik)

GOLONGAN OBAT ANTI-HIPERTENSI :
       I.            Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati.
Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12-24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hiponatriemi,
dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati-hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.
Diuretics yang paling umum digunakan untuk merawat hipertensi termasuk:
  • hydrochlorothiazide (Hydrodiuril),
  • the loop diuretics furosemide (Lasix) dan torsemide (Demadex),
  • kombinasi dari triamterene dan hydrochlorothiazide (Dyazide), dan
  • metolazone (Zaroxolyn).
   II.            Beta-blocker
Beta blocker memblok beta-adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1 juga dapat dijumpai pada ginjal.
Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin- aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.
Terapi menggunakan beta-blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta-blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta-blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta-1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta-1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta-blocker yang non-selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta-1 dan beta- 2. Beta-blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan-beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari.
Beberapa beta-blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta-2 atau vasodilator. Beta-blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat-obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta-blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.
Efek samping
Blokade reseptor beta-2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta-bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan-kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta-2 pada otot polos pembuluh darah perifer.
Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta-blocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta-blocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta-blockers non-selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.

III.            Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor)
ACEI bekerja dengan menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angiotensin II merupakan vaso-konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEI akan lebih besar.
ACEI  juga bertanggung jawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEI. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEI. Dosis pertama ACEI harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
Contoh obat obatan yang tergolong ARB :
a.      Sulfhidril yang mengandung agen
  • Captopril (perdagangan Capoten nama), penghambat ACE yang pertama
  • Zofenopril
b.      Dicarboxylate yang mengandung agen
Ini adalah kelompok terbesar, termasuk:
  • Enalapril (Vasotec / Renitec)
  • Ramipril (Altace / Tritace / Ramace / Ramiwin)
  • Quinapril (Accupril)
  • Perindopril (Coversyl / Aceon)
  • Lisinopril (Lisodur / Lopril / Novatec / Prinivil / Zestril)
  • Benazepril (Lotensin)
c.       Fosfonat yang mengandung agen
  • Fosinopril (Monopril)
d.      Alami
  • Casokinins dan lactokinins
  • Para Lactotripeptides Val-Pro-Pro dan Ile-Pro-Pro yang dihasilkan oleh Lactobacillus helveticus
Efek samping ACEI
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEI fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEI dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurun-kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapi ACEI.
 IV.            Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB)
Pentingnya angiotensin II dalam regulasi fungsi kardiovaskular telah diketahui sejak  berkembangnya antagonis non-peptida dari reseptor angiotensin pada penggunaan klinik. Losartan, candesartan, irbesartan, valsartan, telmisartan, dan aprosartan merupakan contoh obat untuk terapi hipertensi dari golongan ini. Pada penggunaannya, ARBs akan berikatan dengan dengan reseptor angiotensin II sehigga angiotensin II tidak dapat berikatan dengan reseptornya. Dengan mengantagonis efek dari angiotensin II, golongan obat ini dapat merelaksasi otot polos dan menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan ekskresi garam dan air pada ginjal, mengurangi volume plasma, dan menurunkan hipertrofi sel.
Secara teori ARBs juga dapat menutupi beberapa kekurangan dari ACEI,yang mana tidak hanya mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II tetapi juga mencegah degradasi dari media ACE yaitu bradikinin dan substansi P.Ada dua typedari reseptor angiotensin II, yaitu type 1 (AT 1 ) dan type 2 (AT 2).
Reseptor angiotensin II type 1 berada di jaringan vascular dan miokardial dan juga di otak, ginjal, dan selglomerolus adrenal, yang mana mensekresikan aldosteron. Reseptor angiotensin II type 2 berada di medulla adrenal, ginjal, dan pada CNS. Karena media reseptor AT 1 akan memberikan umpan balik inhibisi dengan pelepasan renin, maka konsentrasi renin dan angiotensin II akan meningkat selama reseptor AT 1 dihambat, sehingga angiotensin II akan berikatan dengan reseptor AT 2. Konsekuensi klinik dari berikatannya angiotensin IIdengan reseptor AT 2 belum diketahui. Tetapi berdasarkan data yang diperoleh, dapat menimbulkan respon antigrowth dan antiproliferative.
Efek samping
Efek samping untuk ARB kurang lebih sama dengan efek samping yang ditimbulkan oleh ACEI. Namun, ARB tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.

     V.            Calcium channel blocker (CCB)
menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati.
Efek samping
Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro-intestinal, termasuk konstipasi.

 VI.            Alpha-blocker
Alpha-blocker (penghambat adreno-septor alfa-1) memblok adrenoseptor alfa-1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
Efek samping
Alpha-blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha-blocker bermanfaat untuk pasien laki-laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
Contoh-contoh dari alpha-blockers termasuk:
  • terazosin (Hytrin), dan
  • doxazosin (Cardura).
VII.            Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha-2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang sesuai untuk pasien wanita. Obat-obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari Efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat menyebabkan Efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.

REFERENSI :
1.      Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V jilid I. Jakarta : Interna Publishing; 2009. p:1778.
2.      Corwin, J Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC; 2009. p:489.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar