(Aspek Farmakologik)
GOLONGAN OBAT ANTI-HIPERTENSI :
I.
Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah
yang menurunkan tekanan darah
dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan
volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek
antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral,
terdistribusi luas dan dimetabolisme di
hati.
Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1-2 jam setelah
pemberian dan bertahan sampai 12-24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan
sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan
dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat
pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat
ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
Efek samping
Peningkatan
eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia,
hiponatriemi,
dan
hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi kalsium.
Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia,
sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati-hati. Diuretik tiazid
juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang
mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang
umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan
trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid
mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid
dihentikan.
Diuretics yang paling umum digunakan untuk merawat
hipertensi termasuk:
- hydrochlorothiazide (Hydrodiuril),
- the loop diuretics furosemide (Lasix) dan torsemide (Demadex),
- kombinasi dari triamterene dan hydrochlorothiazide (Dyazide), dan
- metolazone (Zaroxolyn).
II.
Beta-blocker
Beta blocker memblok
beta-adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan
beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2
banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor
beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1 juga dapat
dijumpai pada ginjal.
Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi
reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter
yang meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1
pada nodus sino-atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan
kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan
rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin- aldosteron. Efek
akhirnya adalah peningkatan cardiac
output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang
diperantarai aldosteron dan retensi air.
Terapi menggunakan beta-blocker
akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan
tekanan darah. Beta-blocker yang
selektif (dikenal juga sebagai cardioselective
beta-blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta-1,
tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta-1 saja oleh karena itu penggunaannya
pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta-blocker yang non-selektif
(misalnya propanolol) memblok reseptor beta-1 dan beta- 2. Beta-blocker yang mempunyai aktivitas
agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya
acebutolol, bekerja sebagai stimulan-beta pada saat aktivitas adrenergik
minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat
aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari.
Beberapa beta-blocker,
misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer.
Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta-2 atau vasodilator. Beta-blocker diekskresikan lewat hati
atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat-obat
yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam
sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu
paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta-blocker tidak boleh dihentikan
mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina,
karena dapat terjadi fenomena rebound.
Efek samping
Blokade reseptor beta-2 pada bronkhi dapat mengakibatkan
bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta-bloker kardioselektif. Efek samping
lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan-kaki terasa
dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta-2 pada otot polos
pembuluh darah perifer.
Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa
pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta-blocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung
jawab untuk “memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran
darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang
dialami, terutama pada penggunaan beta-blocker
yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta-blockers non-selektif juga
menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.
III.
Angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor)
ACEI bekerja dengan menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang
terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan
otak. Angiotensin II merupakan vaso-konstriktor kuat yang memacu penglepasan
aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan
angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-aldosteron
teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik)
efek antihipertensi ACEI akan lebih besar.
ACEI juga
bertanggung jawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai
efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi
yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEI.
Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga
bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada
pemberian ACEI. Dosis pertama ACEI harus diberikan pada malam hari karena
penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien
mempunyai kadar sodium rendah.
Contoh
obat obatan yang tergolong ARB :
a.
Sulfhidril
yang mengandung agen
- Captopril (perdagangan Capoten nama), penghambat ACE yang pertama
- Zofenopril
b.
Dicarboxylate
yang mengandung agen
Ini
adalah kelompok terbesar, termasuk:
- Enalapril (Vasotec / Renitec)
- Ramipril (Altace / Tritace / Ramace / Ramiwin)
- Quinapril (Accupril)
- Perindopril (Coversyl / Aceon)
- Lisinopril (Lisodur / Lopril / Novatec / Prinivil / Zestril)
- Benazepril (Lotensin)
c.
Fosfonat
yang mengandung agen
- Fosinopril (Monopril)
d.
Alami
- Casokinins dan lactokinins
- Para Lactotripeptides Val-Pro-Pro dan Ile-Pro-Pro yang dihasilkan oleh Lactobacillus helveticus
Efek samping ACEI
Sebelum
mulai memberikan terapi dengan ACEI fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien
harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua
golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEI dapat menyebabkan
hiperkalemia karena menurun-kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi
kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien
mendapat terapi ACEI.
Pentingnya
angiotensin II dalam regulasi fungsi kardiovaskular telah diketahui
sejak berkembangnya antagonis non-peptida dari reseptor angiotensin
pada penggunaan klinik. Losartan, candesartan, irbesartan, valsartan,
telmisartan, dan aprosartan merupakan contoh obat untuk terapi hipertensi dari
golongan ini. Pada penggunaannya, ARBs akan berikatan
dengan dengan reseptor angiotensin II sehigga angiotensin II tidak dapat berikatan
dengan reseptornya. Dengan mengantagonis efek dari angiotensin II, golongan obat ini dapat merelaksasi otot polos dan
menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan ekskresi garam dan air pada ginjal,
mengurangi volume plasma, dan menurunkan hipertrofi sel.
Secara teori
ARBs juga dapat menutupi beberapa kekurangan dari ACEI,yang mana tidak hanya
mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II tetapi juga
mencegah degradasi dari media ACE yaitu bradikinin dan substansi P.Ada dua
typedari reseptor angiotensin II, yaitu type 1 (AT 1 ) dan type 2 (AT 2).
Reseptor
angiotensin II type 1 berada di jaringan
vascular dan miokardial dan juga di otak, ginjal, dan selglomerolus
adrenal, yang mana mensekresikan aldosteron. Reseptor angiotensin II type 2 berada di medulla adrenal, ginjal, dan pada
CNS. Karena media reseptor AT 1 akan memberikan umpan balik inhibisi
dengan pelepasan renin, maka konsentrasi renin dan angiotensin II akan
meningkat selama reseptor AT 1 dihambat, sehingga angiotensin II akan berikatan
dengan reseptor AT 2. Konsekuensi klinik dari berikatannya angiotensin IIdengan
reseptor AT 2 belum diketahui. Tetapi berdasarkan data yang diperoleh, dapat menimbulkan
respon antigrowth dan antiproliferative.
Efek samping
Efek samping
untuk ARB kurang lebih sama dengan efek samping yang ditimbulkan oleh ACEI.
Namun, ARB tidak
menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.
V.
Calcium channel blocker (CCB)
menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel
dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini
akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi
impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi
dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses
yang bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya
nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin
(diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan
kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek
kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua
CCB dimetabolisme di hati.
Efek samping
Pemerahan
pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai, karena
efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering
terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh
karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro-intestinal, termasuk
konstipasi.
VI.
Alpha-blocker
Alpha-blocker (penghambat adreno-septor alfa-1) memblok
adrenoseptor alfa-1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena
merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang
resisten.
Efek samping
Alpha-blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang
sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha-blocker bermanfaat untuk pasien laki-laki lanjut usia
karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
Contoh-contoh dari
alpha-blockers termasuk:
- terazosin (Hytrin), dan
- doxazosin (Cardura).
VII.
Golongan lain
Antihipertensi
vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan
cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a sentral
(misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha-2
atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung,
pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Efek samping
Antihipertensi
vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus dipantau
selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin
juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan
dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang sesuai untuk pasien wanita.
Obat-obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk
menghindari Efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan
mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip
dengan konidin tetapi dapat menyebabkan Efek samping pada sistem imun, termasuk
pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.
REFERENSI
:
1. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V jilid I. Jakarta : Interna Publishing;
2009. p:1778.
2. Corwin,
J Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi.
Edisi 3. Jakarta : EGC; 2009. p:489.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar