Patogenesis
Stres menyebabkan gatal
Stres
merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-hari.
Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses
modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan
hidup serta kompetisi antar individu yang makin berat.[1]
Dalam
ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi
secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor
(1995) mendeskripsikan stres sebagai
pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis,
kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri
terhadap situasi yang menyebabkan stres. [1]
Faktor-faktor
yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan
yaitu: [1]
a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa
nyeri, pukulan dan lain-lain.
b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah,
kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain.
c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian,
perselisihan dan lain-lain.
Stres
dapat mengenai semua orang dan semua usia. Wheaton (1983) membedakan stres akut
dan kronik sedangkan Holmes dan Rahe (1967) menekankan pembagian pada jumlah
stres (total amount of change) yang dialami individu yang sangat
berpengaruh terhadap efek psikologiknya. Ross dan Viowsky (1979) dalam
penelitiannya berpendapat, bahwa bukan jumlah stres maupun beratnya stres yang
mempunyai efek psikologik menonjol akan tetapi apakah stres tersebut diinginkan
atau tidak diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi besar dalam
menimbulkan efek psikologik. Stres baik ringan, sedang maupun berat dapat
menimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. [1]
Stresor
pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang
terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh
melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar
hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan
menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti
membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal
melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis),
HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial
Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti. [1]
Aksis
limbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA) menerima berbagai input,
termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular
nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan
mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine
vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis
anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk
mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin)
serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan
melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol
pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai
reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum
serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk
proses coping terhadap stresor. [1]
Pada
kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun
kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negatif.
Peningkatan glukokortikoid umumnya disertai penurunan kadar androgen dan
estrogen. Karena glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun,
stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar
glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid gonadal).
Karena rasio estrogen androgen berubah maka stres menyebabkan efek yang berbeda
pada wanita dibanding pria. Pada penelitian binatang percobaan, stres
menstimulasi respon imun pada betina tetapi justru menghambat respon tersebut pada
jantan. Suatu penelitian menggunakan 63 tikus menunjukkan kadar testosteron
serum meningkat bermakna dan berahi betina terhadap pejantan menurun. [1]
Peningkatan
stimulasi respon imun dapat meningkatkan sensitivitas respon imun. Hal ini
menyebabkan sistem imun akan bekerja secara berlebihan dan melepaskan mediator
inflamasi secara berlebihan pula. Mediator
inflamasi klasik, antara lain prostaglandin, bradikinin, leukotrien, serotonin,
pH yang rendah dan substansi P, dapat mensensitisasi nosiseptor secara kimiawi.
Mediator inflamasi tersebut menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap mediator
lain seperti histamin dan capsaicin, sebagai akibatnya terjadi induksi rasa
gatal. [2]
Aktivitas nosiseptor
kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitisasi sentral sehingga
meningkatkan sensitivitas terhadap rasa gatal. Terdapat dua tipe peningkatan
sensitivitas terhadap rasa gatal, salah satunya adalah aloknesis yang analog
dengan alodinia terhadap rangsang nyeri. Alodinia artinya rabaan atau tekanan ringan
yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri oleh penderita dirasakan
nyeri, sedangkan aloknesis adalah rabaan atau tekanan ringan yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan rasa gatal oleh penderita dirasakan gatal. Aloknesis sering
dijumpai, bahkan pada penderita dermatitis atopik aloknesis merupakan gejala utama.
Aloknesis dapat menerangkan keluhan rasa gatal yang berhubungan dengan
berkeringat, perubahan suhu mendadak, serta memakai dan melepas pakaian.
Seperti halnya alodinia, fenomena ini
memerlukan aktivitas sel saraf yang terus berlangsung (ongoing activity).
[2]
SUMBER:
- Gunawan B, Sumadiono. Stress dan sistem imun tubuh: suatu pendekatan psikoneuroimunologi. [Online]. 2007 [cited 2012 March 29; 4 screens].
Available from:
URL: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/154_08_Stresimunitastubuh.pdf/154_08_Stresimunitastubuh.html
- Elvina PA. Hubungan rasa gatal dan nyeri. [Online]. 2011 May-June [cited 2012 March 29; 2 screens].
Available from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar