Pendahuluan
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi
terhadap protein makanan yang merugikan, disebabkan oleh suatu
hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara sedikitnya satu protein
makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas hanya pada IgE
(immunoglobulin E).
Diketahui lebih dari 20 macam makanan penyebab
alergi. Penyebab alergi makanan yang sering disebut dalam literatur adalah:
susu sapi, putih telur, ikan laut dan kacang (Sampson dan Leung, 2004). Jenis
makanan lain penyebab alergi; coklat, kacang tanah, semangka, mentimun dan
rambutan (Santosa, 1989).
Mekanisme terjadinya alergi
Alergi adalah suatu
proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga
merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor
genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Alergen di dalam makanan adalah
protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000
Dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik. Alergen makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
Menurut cepat
timbulnya reaksi maka alergi terhadap makanan dapat berupa reaksi cepat
(Immediate Hipersensitivity/rapid onset reaction) dan reaksi lambat (delayed
onset reaction). Immediate Hipersensitivity atau reaksi cepat terjadi
berdasarkan reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell& Coombs). Terjadi
beberapa menit sampai beberapa jam setelah makan atau terhirup pajanan alergi. Delayed
Hipersensitivity atau reaksi lambat terdapat 3 kemungkinan, yaitu terjadi
berdasarkan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat, reaksi
hipersensitifitas tipe III dan reaksi hipersensitifitas tipe
IV. Terjadi lebih dari 8 jam setelah terpapar alergen.
Gejala klinis terjadi
karena reaksi imunologik melalui pengeluaran mediator yang mengganggu
organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya
paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila
sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran
pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya.
CMPA (Cow’s Milk Protein Allergy)
Definisi
Istilah alergi protein susu sapi (CMPA) adalah
reaksi terhadap susu sapi yang diperantarai respon imunologis. Respon terhadap
susu sapi yang tidak diperantarai respon imun disebut intoleransi susu sapi.
Pada intoleransi makanan, penyebab reaksi yang timbul merupakan respon
fisiologis abnormal terhadap makanan, misalnya intoleransi laktosa, reaksi
terhadap toksin bakteri, malabsorpsi laktosa dll.
Respon imunologis susu sapi atau disebut CMPA,
terdiri dari dua kelompok yaitu; pertama IgE-mediated, reaksi yang diperantarai
IgE yang terjadi sesaat atau beberapa jam setelah paparan dengan makanan. Kedua
reaksi non-IgE mediated, tidak diperantarai IgE, terjadi lebih lama, mungkin
sehari atau beberapa hari setelah paparan dengan makanan (Atkins, 2007; Sampson
dan Leung, 2004). IgE-mediated CMPA, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I,
sedangkan respon imun yang tidak diperantarai IgE adalah reaksi
hipersensitivitas tipe III (immun mediated) dan hipersensitivitas tipe IV
(cell-mediated).
Epidemiologi
Angka kejadian di negara Barat, diperkirakan
atopi pada anak menempati sekitar 30% dari populasi (Vandenplas, 2007). Angka
kejadian CMPA 1,1%-5,2% (Saarinen dkk, 1999; Egesbo dkk, 2001). Pada usia 2
tahun pertama, alergi makanan terjadi kurang lebih 6%. Empat puluh persen
diantaranya adalah alergi non-IgE mediated. Alergi makanan dapat melibatkan
berbagai organ target, baik di traktus gastrointestinal maupun diluar traktus
gastrointestinalis (Wood, 2003). Alergi makanan terjadi pada 0,5-1,6% anak yang
minum ASI dan 2-5% pada yang minum susu sapi formula (CM). Penelitian
Marzuki dkk (2004) menunjukkan prevalensi diare akibat CMPA sebesar 3%,
sebenarnya sangat kecil apabila dibandingkan dengan diare akibat Rotavirus pada usia yang sama, yang
dapat mencapai lebih dari 60%. Di sisi lain untuk mengurangi kejadian alergi,
pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (EBF=Exclusive
Breast Feeding) merupakan nutrisi hipoalergenik yang dianjurkan. ASI
khususnya kolostrum memacu maturasi sel mukosa saluran cerna. ASI
mengandung IgA yang berfungsi menghalangi absorpsi antigen atau alergen.
Gejala Klinik
Tidak ada gejala CMPA yang patognomonik (kondisi
patologis ; menunjukkan gejala atau keluhan) untuk diagnosis CMPA. Variasi
gejala klinis meliputi; pada gastrointestinal mencapai 50-60%, kulit 50-60%,
saluran nafas 20-30%. Gejala dapat ringan, sedang sampai berat yang dapat
mengancam jiwa seperti anafilaksis, udem laring, asma berat. Diagnosis banding
CMPA antara lain kelainan metabolisme, kelainan anatomis, penyakit celiac,
enteropati, insufisiensi pankreatik (cystic fibrosis), reaksi non-imunologi
terhadap makanan seperti malabsorpsi fruktose, intoleransi laktosa.
Perlu mendapat perhatian adanya gejala klinik yang
mirip, misalnya refluks gastroesofagus (GER) pada CMPA yang dapat terjadi pada
15-21%. CMPA juga dapat terjadi kolik infantil. Demikian juga hubungan antara
CMPA dengan gejala dermatitis atopi. Semakin berat dermatitis, semakin muda
anak maka sangat mungkin ada kaitan antara CMPA dengan dermatitis atopi.
CMPA dapat bersamaan dengan alergi makanan lain
seperti telur, ikan, kacang, sehingga pada saat diagnosis, perlu dipertimbangkan
untuk melakukan eliminasi bahan-bahan makanan tersebut (Vandenplas, 1997).
Organ target CMPA meliputi: kulit, saluran cerna,
saluran nafas, sistim kardio vaskuler, mata. Gejala klinik pada kulit berupa
eczema, rash, urticaria, swelling, dryness.
Gejala pada saluran cerna dimulai dari mulut; gatal
atau udema pada bibir, mulut, lidah, faring. Gejala klinik lainnya berupa mual,
muntah. Sakit perut di daerah ulu hati selama dan setelah minum CM, kembung,
konstipasi, nyeri perut, diare, rectal bleeding, anemia defisiensi besi, berak
berdarah dan berlendir, diare kronik, gangguan pertumbuhan. Muntah maupun diare
kronik dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang, maupun diare akut berat.
Gejala di saluran nafas berupa batuk, rhinitis,
wheezing, reaksi alergi yang berat dapat menyebabkan; asma berat, edema laring
akut, dermatitis atopi disertai eksudasi, anafilaksis.
Diagnostik
Adanya riwayat atopi dalam keluarga (ayah &
ibu, ayah saja, atau ibu saja, saudara, kakek, nenek, usia penderita). Gejala
klinik atopi bervariasi misalnya adanya rhinitis, dermatitis atopi, asma, GER
dan diare kronik. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis; eliminasi dan
provokasi bahan yang diduga sebagai alergen.
Endoskopi, pemeriksaan biopsi yang dilanjutkan
pemeriksaan patologi anatomi. Diagnostik lainnya adalah RAST (Radio Allergosorbent Test), SPT (Skin Prick Test). Pemeriksaan IgE
total, IgE spesifik. Uji SPT menggunakan ekstrak komersial memberikan 58,8%
positif, sedangkan pemakaian alergen fresh food dapat memberikan
positifitas sebesar 91,7%. Hal ini menunjukkan fresh food memberikan hasil yang
lebih baik daripada pemakian ektrak komersial. SPT dan RAST bermanfaat dalam
penentuan progosis dan lama penyakit.
Proporsi Eosinofil darah tepi lebih dari 3% dan
jumlah eosinofil absolut lebih dari 300/mL. Eliminasi dan provokasi
merupakan baku emas diagnostik CMPA (Vandenplas, Bruiton dan Dupon, 2007).
Tatalaksana
Penatalaksanaan CMPA pada prinsipnya adalah
eliminasi CMP (cow’s milk protein)
dan makanan yang mengandung susu sapi. Pada ibu hamil dan menyusui, disarankan
untuk diet bebas CM (cow’s milk) dan
produk makanan yang bebas CMP. Keluarga penderita seharusnya perlu diberitahu
untuk dapat memilih produk makanan yang tidak mengandung CMP.
EBF sampai usia 4 bulan-6 bulan. Kejadian CMPA
minimal pada bayi yang minum EBF apabila dibandingkan bayi minum CMP atau
kombinasi ASI dan CMP. Sekitar 0,5% penderita CMPA pada bayi minum ASI
eksklusif dan gejala klinik yang timbul ringan sampai sedang. Klinik CMPA berat
seperti dermatitis atopi berat, hilang protein enteropati disertai gangguan
tumbuh kembang, anemia akibat enterokolitis dan perdarahan rektum. Komponen
protein ada pada ASI seperti susu sapi, telur, kacang yang dapat menyebabkan
efek samping selama bayi minum ASI pada anak yang sensitif. Pada ibu yang
menyusui, diet ibu bebas susu sapi. Rekomendasi pemberian bertahap CMP dengan partially hydrolised formula (pHF), extensively hydrolised formula (eHF),
atau diet bebas CMP. Pada anak yang mengalami CMPA berat, pemberian eHF pun
masih memberikan reaksi alergi. Pada kasus anak ini diberikan amino acid-derived elemental formula (AAF).
Perlu dipertimbangkan harga eHF dan AAF sangat mahal. Rasa susu formula pHF dan
eHF tidak enak.
Pemberian susu kedelai masih menjadi kontroversi,
oleh karena anak yang alergi CMP, 17-47% juga alergi susu kedelai. Di
sisi lain sudah diketahui susu kedelai mengandung fitat yang menghambat
penyerapan zat besi dan zink. Pemberian susu kedelai menjadi pertimbangan.
Air susu kambing (GMP=goat’s milk protein, atau
sheep’s milk=SMP), susu unta dan susu kuda tidak dianjurkan, oleh karena
komponen protein di dalam susu-susu tersebut juga mengandung komponen protein
alergen, sehingga susu formula dari GMP tidak direkomendasikan sebagai
pengobatan CMPA.
Proses pasteurisasi, pemanasan, evaporasi tidak
menghilangkan tetapi hanya mengurangi efek antigen atau CMPA. Pada umumnya CMPA
akan menghilang pada usia 2-3 tahun, maka untuk menghindari diet bebas CMP
berkepanjangan, serta pengobatan yang berlebihan, maka perlu dilakukan uji
ulang terhadap reaksi alergi dari CMP pada usia 6-12 bulan. Uji ulang dilakukan
selang 1-2 tahun setelah anak berusia diatas 3 tahun (Host, 1997).
Saat ini dikembangkan immunoterapi spesifik (ITS)
atau “vaksinasi” alergen, untuk memicu desensitisasi alergen spesifik
(dalam Rengganis I, 2008). Beberapa waktu ini prebiotik dan probiotik,
dipergunakan mengurangi efek alergi (Bindels, 2008).
Pencegahan
Pencegahan primer
Pencegahan primer dilakukan pada ibu berisiko alergi yang
sedang hamil, dianjurkan untuk menghindari makanan dan minuman seperti susu,
telur, ikan laut, dan kacang-kacangan. Pemberian susu hipoalergenik, diharapkan
terjadi respon toleransi pada bayi di kemudian hari. Pencegahan primer ini
masih menjadi kontroversial (Wido, 2006; Mc Bean, 2006)
Pencegahan sekunder
Pada anak yang sudah diketahui terjadi CMPA. Diketahui
dengan pemeriksaan IgE spesifik dalam darah perifer atau tali pusat atau SPT.
Menghindari CMP. Dengan pemberian pHF atau eHF atau susu kedelai akan
menghindari sensitisasi lebih lanjut (Wido, 2006; Mc Bean, 2006).
Pencegahan tertier
Pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan
manifestasi alergi ringan seperti dermatitis, rhinitis pada anak usia 6 bulan
sampai 4 tahun, diberikan eHF atau pHF. Bila gejala berat terjadi, maka anak
diberikan susu AAF (Wido, 2006). Pemberian susu soya masih merupakan
kontroversi. Pengalaman beberapa pengamat, pemberian susu soya memberikan
perbaikan klinis.
Prognosis
CMPA pada umumnya tidak berlangsung seumur hidup.
Pada usia sekitar 1-3 tahun gejala klinis akan menghilang. Gejala alergi akan
menghilang pada usia 1 tahun sekitar 80-90%. Sekitar10-33% berlanjut sampai
usia 3 tahun. Sisanya akan berlangsung sampai usia 9-14 tahun (Hugh A,
Sampson dan Leung D, 2004).
CMPSE
Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak
diantaranya sindrom alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan
perantaraan IgE), enterokolitis karena protein makanan, sindroma malabsorpsi
(termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap protein susu sapi),
gastroenteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Pada
tabel di atas, dapat dilihat bahwa enteropati termasuk dalam alergi makanan
tanpa perantara IgE.
Definisi
CMPSE adalah enteropati protein makanan yang
termasuk dalam gangguan hipersensitivitas dengan perantaraan non-IgE.
Enteropati sendiri adalah setiap penyakit pada intestinum.
Epidemiologi
Di Surabaya, kejadian enteropati sensitif protein
susu sapi (Cow’s Milk Protein Sensitive
Enteropathy=CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare kronik dilaporkan
sebesar 72.9%. Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk challenge) dan ditegakkan dengan
biopsi usus.
Etiologi
Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen
utama yang terlibat dalam CMPSE, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk
manajemen yang tepat. Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam
dadih, dapat diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya
sekitar 80% dari protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah
protein glubular (misalnya, laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum
albumin), yang terkandung dalam air dadih. Kasein sering dianggap kurang
imunogenik karena strukturnya yang fleksibel, tidak padat. Secara historis,
lactoglobulin merupakan alergen utama dalam intoleransi protein susu sapi.
Namun, polisensitisasi beberapa protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien
dengan alergi terhadap protein susu sapi.
Protein component
|
Molecular
weight (kd)
|
Percentage of total protein
|
Alerginisitas
|
Stability in the temperature 100˚C
|
β –lactoglobulin
|
18.3
|
10
|
+++
|
++
|
Casein
|
20-30
|
82
|
++
|
+++
|
α -lactalbumin
|
14.2
|
4
|
++
|
+
|
Serum
albumin
|
67
|
1
|
+
|
+
|
Immunoglobulins
|
160
|
2
|
+
|
-
|
Tabel : Karakteristik
komponen protein pada susu sapi
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses
dalam usus dimana terdapat banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam,
sel epitel dan asam) dan proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti
keadaan netralisasi pH lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi
dimana pelindung-pelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum
matang sehingga meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi.
Patomekanisme
Reaksi yang
diperantarai oleh non-IgE dapat disebabkan oleh banyak faktor, yang melibatkan
kompleks imun antibodi IgA atau IgG, atau yang dikenal dengan hipersensitivitas
tipe III, dan stimulasi langsung sel T oleh antigen protein susu, atau yang
dikenal dengan hipersensitivitas tipe IV. Interaksi ini lalu menyebabkan
pelepasan sitokin dan produksi antibodi meningkat, sehingga terjadi rantai
reaksi inflamasi.
Reaksi
hipersensitivitas tipe III
Antibodi (IgG atau IgM) bereaksi dengan antigen yang
berlebih, diikuti perlekatan komplemen, dengan akibat respon keradangan lokal.
Reaksi berlangsung dalam beberapa jam sesudah pemaparan antigen. Dikemukakan
reseptor Fc untuk imunoglobulin dan bukannya komplemen yang penting dalam
kerusakan jaringan. Reaksi gastrointestinal dapat terjadi 6 jam setelah
pemaparan berupa muntah, diare dan kolik, serta peningkatan lokal dari IgM dan
sel plasma IgA. Dalam jangka 24 jam berikutnya akan terlihat sembab lokal,
reaksi endotel, penebalan membran dasar, penimbunan serat kolagen dan
infiltrasi lekosit polimorf. Terjadi pula peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam
jaringan ikat subepitelial yang menunjukkan adanya reaksi kompleks imun. Pada
tahap ini mulai terlihat kerusakan enterosit yaitu mikrovili yang menjadi tidak
teratur, peningkatan lisosom dan pembengkakan mitokondrial. Selain penimbunan
lokal, kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan imunoglobulin (IgG dan
IgE) terlihat pula dalam serum penderita alergi makanan (Mac Donald dalam
Pitono, 2003)
Reaksi hipersensitivitas tipe IV
(Delayed type hypersensitivity reaction=DTH)
DTH mencerminkan fenomena imunitas
dengan perantaraan sel CMI (cell-mediated immunity). DTH merupakan mekanisme
imunologik yang paling jelas perannya terhadap kerusakan mukosa usus yang
berat. DTH adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antigen dengan limfosit T
spesifik terhadap antigen tersebut dikenal sebagai sel DTH (Pitono S dkk, 2003,
Siti Boedina Kresna, 1996) Antigen menembus mukosa usus melalui Plaques Peyeri,
ditangkap sel APC, sel dendritik atau makrofag. Selanjutnya disajikan pada sel
T yang mengikat MHC II, akan memacu Th1 menghasilkan IFN-γ. Sel akan bermigrasi pada lamina propria yang juga memacu
Th1 lebih banyak dan menghasilkan IFN-γ.
IFN-γ ini menyebabkan keradangan dan
kerusakan mukosa usus. Sitokin lainnya adalah TNF-α dan IL-1β yang akan
menghasilkan berbagai metaloproteinase yang merusak mukosa (Mowatt, 1994 dalam
Pitono, 2003)
Gejala klinik
Enteropati protein makanan ini sering terlihat pada
bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan gejala diare (tidak jarang
steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen dan
malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia. CMPSE
merupakan penyebab utama sindroma ini, walaupun terdapat pula asosiasi dengan
soya, telur, gandum, nasi, ayam, dan ikan pada anak yang lebih besar. Pada
biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak merata disertai infiltrat seluler
yang khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi, didapatkan IgA dan IgG
serum yang meningkat.
CMPSE pada anak usia 6 bulan dan jarang setelah 3
tahun reaksi alergi bisa terjadi di usus dengan gejalanya mual, muntah, dapat
disertai urtikaria, dermatitis atopi, wheezing, dan kadang kadang gagal tumbuh
karena proses kronik. Diare dapat menyebabkan dehidrasi berat.
Pada bayi, awal reaksi bisa terjadi di kolon dan
rectum. CMPSE akan timbul setelah minum susu beberapa hari atau minggu, dengan
gejala perdarahan kolon dan rektum, diare disertai lendir dan darah (Chong S et
al, 1984). Protein-losing enteropathy dapat menyebabkan edema, distensi
abdomen, anemia, malnutrisi (dalam Hegar B, 2007).
Diagnostik
CMPSE dikenal sebagai penyebab penting dari diare
persisten dan malabsorpsi pada anak-anak, tetapi belum ada kriteria diagnostik
yang berlaku umum. Kombinasi antara pendekatan klinik dan histologik untuk
diagnosis CMPSE telah digunakan pada beberapa pasien dan beberapa kriteria
berikut diusulkan : (1) Klinis penyakit (diare dengan
atau tanpa muntah)
saat menerima protein susu sapi. (2) Perbaikan klinis pada diet
bebas dari protein
susu sapi. (3)
Normal atau agak
abnormal histologi mukosa jejunum ketika
diambil 6-8 minggu
setelah gejala mereda. (4) Histologik kambuh, dengan
atau tanpa kekambuhan klinis, setelah
paparan ulang terhadap
protein susu sapi.
Tatalaksana
Tatalaksana yaitu eliminasi nutrisi alergen CMP,
koreksi anemia dan malnutrisi.
Prognosis
CMPSE menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun.
Kesimpulan :
Penjelasan di atas berisi tentang alergi terhadap protein
susu sapi, baik yang diperantarai IgE (CMPA) maupun yang tidak diperantarai IgE
(CMPSE).
CMPSE (enteropati protein makanan yang termasuk dalam
gangguan hipersensitivitas dengan perantaraan non-IgE), melibatkan reaksi
hipersensitivitas tipe III (disebabkan oleh banyak faktor) dan tipe IV (karena
antigen protein susu sapi). Gejalanya diare (tidak jarang steatorea), kenaikan
berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen dan malabsorpsi, terkadang
juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia, tetapi belum ada kriteria
diagnostik yang berlaku umum. Tatalaksana yaitu eliminasi nutrisi alergen CMP,
koreksi anemia dan malnutrisi. Prognosis baik, CMPSE menghilang sesudah anak
berusia 2-3 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar