Selasa, 21 Mei 2013

ilmu penyakit anak




CMPSE (Cow’s Milk Protein Sensitive Enteropathy)

Pendahuluan
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan yang merugikan, disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas hanya pada IgE (immunoglobulin E).
Diketahui lebih dari 20 macam makanan penyebab alergi. Penyebab alergi makanan yang sering disebut dalam literatur adalah: susu sapi, putih telur, ikan laut dan kacang (Sampson dan Leung, 2004). Jenis makanan lain penyebab alergi; coklat, kacang tanah, semangka, mentimun dan rambutan (Santosa, 1989).

Mekanisme terjadinya alergi
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks  dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Alergen di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 Dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik. Alergen makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
Menurut cepat timbulnya reaksi maka alergi terhadap makanan dapat berupa reaksi cepat (Immediate Hipersensitivity/rapid onset reaction) dan reaksi lambat (delayed onset reaction). Immediate Hipersensitivity atau reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell& Coombs). Terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah makan atau terhirup pajanan alergi. Delayed Hipersensitivity atau reaksi lambat terdapat 3 kemungkinan, yaitu terjadi berdasarkan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat, reaksi hipersensitifitas  tipe III dan reaksi hipersensitifitas tipe  IV.  Terjadi lebih dari 8 jam setelah terpapar alergen.
Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pengeluaran mediator  yang mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya.

CMPA (Cow’s Milk Protein Allergy)

Definisi
Istilah alergi protein susu sapi (CMPA) adalah reaksi terhadap susu sapi yang diperantarai respon imunologis. Respon terhadap susu sapi yang tidak diperantarai respon imun disebut intoleransi susu sapi. Pada intoleransi makanan, penyebab reaksi yang timbul merupakan respon fisiologis abnormal terhadap makanan, misalnya intoleransi laktosa, reaksi terhadap toksin bakteri, malabsorpsi laktosa dll.
Respon imunologis susu sapi atau disebut CMPA, terdiri dari dua kelompok yaitu; pertama IgE-mediated, reaksi yang diperantarai IgE yang terjadi sesaat atau beberapa jam setelah paparan dengan makanan. Kedua reaksi non-IgE mediated, tidak diperantarai IgE, terjadi lebih lama, mungkin sehari atau beberapa hari setelah paparan dengan makanan (Atkins, 2007; Sampson dan Leung, 2004). IgE-mediated CMPA, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan respon imun yang tidak diperantarai IgE adalah reaksi hipersensitivitas tipe III (immun mediated) dan hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated).

Epidemiologi
Angka kejadian di negara Barat, diperkirakan atopi pada anak menempati sekitar 30% dari populasi (Vandenplas, 2007). Angka kejadian CMPA 1,1%-5,2% (Saarinen dkk, 1999; Egesbo dkk, 2001). Pada usia 2 tahun pertama, alergi makanan terjadi kurang lebih 6%. Empat puluh persen diantaranya adalah alergi non-IgE mediated. Alergi makanan dapat melibatkan berbagai organ target, baik di traktus gastrointestinal maupun diluar traktus gastrointestinalis (Wood, 2003). Alergi makanan terjadi pada 0,5-1,6% anak yang minum ASI dan 2-5% pada yang minum susu sapi formula (CM). Penelitian  Marzuki dkk (2004)  menunjukkan prevalensi diare akibat CMPA sebesar 3%, sebenarnya sangat kecil apabila dibandingkan dengan diare akibat Rotavirus pada usia yang sama, yang dapat mencapai lebih dari 60%. Di sisi lain untuk mengurangi kejadian alergi, pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (EBF=Exclusive Breast Feeding) merupakan nutrisi hipoalergenik yang dianjurkan. ASI khususnya kolostrum memacu maturasi sel mukosa saluran cerna.  ASI mengandung IgA yang berfungsi menghalangi absorpsi antigen atau alergen.

Gejala Klinik
Tidak ada gejala CMPA yang patognomonik (kondisi patologis ; menunjukkan gejala atau keluhan) untuk diagnosis CMPA. Variasi gejala klinis meliputi; pada gastrointestinal mencapai 50-60%, kulit 50-60%, saluran nafas 20-30%. Gejala dapat ringan, sedang sampai berat yang dapat mengancam jiwa seperti anafilaksis, udem laring, asma berat. Diagnosis banding CMPA antara lain kelainan metabolisme, kelainan anatomis, penyakit celiac, enteropati, insufisiensi pankreatik (cystic fibrosis), reaksi non-imunologi terhadap makanan seperti malabsorpsi fruktose, intoleransi laktosa.
Perlu mendapat perhatian adanya gejala klinik yang mirip, misalnya refluks gastroesofagus (GER) pada CMPA yang dapat terjadi pada 15-21%. CMPA juga dapat terjadi kolik infantil. Demikian juga hubungan antara CMPA dengan gejala dermatitis atopi. Semakin berat dermatitis, semakin muda anak maka sangat mungkin ada kaitan antara CMPA dengan dermatitis atopi.
CMPA dapat bersamaan dengan alergi makanan lain seperti telur, ikan, kacang, sehingga pada saat diagnosis, perlu dipertimbangkan untuk melakukan eliminasi bahan-bahan makanan tersebut (Vandenplas, 1997).
Organ target CMPA meliputi: kulit, saluran cerna, saluran nafas, sistim kardio vaskuler, mata. Gejala klinik pada kulit berupa eczema, rash, urticaria, swelling, dryness.
Gejala pada saluran cerna dimulai dari mulut; gatal atau udema pada bibir, mulut, lidah, faring. Gejala klinik lainnya berupa mual, muntah. Sakit perut di daerah ulu hati selama dan setelah minum CM, kembung, konstipasi, nyeri perut, diare, rectal bleeding, anemia defisiensi besi, berak berdarah dan berlendir, diare kronik, gangguan pertumbuhan. Muntah maupun diare kronik dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang, maupun diare akut berat.
Gejala di saluran nafas berupa batuk, rhinitis, wheezing, reaksi alergi yang berat dapat menyebabkan; asma berat, edema laring akut, dermatitis atopi disertai eksudasi, anafilaksis.

Diagnostik
Adanya riwayat atopi dalam keluarga (ayah & ibu, ayah saja, atau ibu saja, saudara, kakek, nenek, usia penderita). Gejala klinik atopi bervariasi misalnya adanya rhinitis, dermatitis atopi, asma, GER dan diare kronik. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis; eliminasi dan provokasi bahan yang diduga sebagai alergen.
Endoskopi, pemeriksaan biopsi yang dilanjutkan pemeriksaan patologi anatomi. Diagnostik lainnya adalah RAST (Radio Allergosorbent Test), SPT (Skin Prick Test).  Pemeriksaan IgE total, IgE spesifik. Uji SPT menggunakan ekstrak komersial memberikan 58,8% positif, sedangkan pemakaian alergen  fresh food dapat memberikan positifitas sebesar 91,7%. Hal ini menunjukkan fresh food memberikan hasil yang lebih baik daripada pemakian ektrak komersial. SPT dan RAST bermanfaat dalam penentuan progosis dan lama penyakit.
Proporsi Eosinofil darah tepi lebih dari 3% dan jumlah eosinofil absolut lebih dari 300/mL. Eliminasi dan provokasi  merupakan baku emas diagnostik CMPA (Vandenplas, Bruiton dan Dupon, 2007).

Tatalaksana
Penatalaksanaan CMPA pada prinsipnya adalah eliminasi CMP (cow’s milk protein) dan makanan yang mengandung susu sapi. Pada ibu hamil dan menyusui, disarankan untuk diet bebas CM (cow’s milk) dan produk makanan yang bebas CMP. Keluarga penderita seharusnya perlu diberitahu untuk dapat memilih produk makanan yang tidak mengandung CMP.
EBF sampai usia 4 bulan-6 bulan. Kejadian CMPA minimal pada bayi yang minum EBF apabila dibandingkan bayi minum CMP atau kombinasi ASI dan CMP. Sekitar 0,5% penderita CMPA pada bayi minum ASI eksklusif dan gejala klinik yang timbul ringan sampai sedang. Klinik CMPA berat seperti dermatitis atopi berat, hilang protein enteropati disertai gangguan tumbuh kembang, anemia akibat enterokolitis dan perdarahan rektum. Komponen protein ada pada ASI seperti susu sapi, telur, kacang yang dapat menyebabkan efek samping selama bayi minum ASI pada anak yang sensitif. Pada ibu yang menyusui, diet ibu bebas susu sapi. Rekomendasi pemberian bertahap CMP dengan partially hydrolised formula (pHF), extensively hydrolised formula (eHF), atau diet bebas CMP. Pada anak yang mengalami CMPA berat, pemberian eHF pun masih memberikan reaksi alergi. Pada kasus anak ini diberikan amino acid-derived elemental formula (AAF). Perlu dipertimbangkan harga eHF dan AAF sangat mahal. Rasa susu formula pHF dan eHF tidak enak.
Pemberian susu kedelai masih menjadi kontroversi, oleh karena anak yang alergi CMP, 17-47% juga alergi susu kedelai.  Di sisi lain sudah diketahui susu kedelai mengandung fitat yang menghambat penyerapan zat besi dan zink. Pemberian susu kedelai menjadi pertimbangan.
Air susu kambing (GMP=goat’s milk protein, atau sheep’s milk=SMP), susu unta dan susu kuda tidak dianjurkan, oleh karena komponen protein di dalam susu-susu tersebut juga mengandung komponen protein alergen, sehingga susu formula dari GMP tidak direkomendasikan sebagai pengobatan  CMPA.
Proses pasteurisasi, pemanasan, evaporasi tidak menghilangkan tetapi hanya mengurangi efek antigen atau CMPA. Pada umumnya CMPA akan menghilang pada usia 2-3 tahun, maka untuk menghindari diet bebas CMP berkepanjangan, serta pengobatan yang berlebihan, maka perlu dilakukan uji ulang terhadap reaksi alergi dari CMP pada usia 6-12 bulan. Uji ulang dilakukan selang 1-2 tahun setelah anak berusia diatas 3 tahun (Host, 1997).
Saat ini dikembangkan immunoterapi spesifik (ITS) atau  “vaksinasi” alergen, untuk memicu desensitisasi alergen spesifik (dalam Rengganis I, 2008). Beberapa waktu ini prebiotik dan probiotik, dipergunakan mengurangi efek alergi (Bindels, 2008).

Pencegahan
Pencegahan primer
Pencegahan primer dilakukan pada ibu berisiko alergi yang sedang hamil, dianjurkan untuk menghindari makanan dan minuman seperti susu, telur, ikan laut, dan kacang-kacangan. Pemberian susu hipoalergenik, diharapkan terjadi respon toleransi pada bayi di kemudian hari. Pencegahan primer ini masih menjadi kontroversial (Wido, 2006; Mc Bean, 2006)

Pencegahan sekunder
Pada anak yang sudah diketahui terjadi CMPA. Diketahui dengan pemeriksaan IgE spesifik dalam darah perifer atau tali pusat atau SPT. Menghindari CMP. Dengan pemberian pHF atau eHF atau susu kedelai akan menghindari sensitisasi lebih lanjut (Wido, 2006; Mc Bean, 2006).

Pencegahan tertier
Pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi alergi ringan seperti dermatitis, rhinitis pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun, diberikan eHF atau pHF. Bila gejala berat terjadi, maka anak diberikan susu AAF (Wido, 2006). Pemberian susu soya masih merupakan kontroversi. Pengalaman beberapa pengamat, pemberian susu soya memberikan perbaikan klinis.
Prognosis
CMPA pada umumnya tidak berlangsung seumur hidup. Pada usia sekitar 1-3 tahun gejala klinis akan menghilang. Gejala alergi akan menghilang pada usia 1 tahun sekitar 80-90%. Sekitar10-33% berlanjut sampai usia 3 tahun. Sisanya akan berlangsung sampai usia 9-14 tahun  (Hugh A, Sampson dan Leung D, 2004).


























CMPSE

Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak diantaranya sindrom alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantaraan IgE), enterokolitis karena protein makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap protein susu sapi), gastroenteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa enteropati termasuk dalam alergi makanan tanpa perantara IgE.

Definisi
CMPSE adalah enteropati protein makanan yang termasuk dalam gangguan hipersensitivitas dengan perantaraan non-IgE. Enteropati sendiri adalah setiap penyakit pada intestinum.
Epidemiologi
Di Surabaya, kejadian enteropati sensitif protein susu sapi (Cow’s Milk Protein Sensitive Enteropathy=CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare kronik dilaporkan sebesar 72.9%. Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk challenge) dan ditegakkan dengan biopsi usus.

Etiologi
Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang terlibat dalam CMPSE, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk manajemen yang tepat. Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam dadih, dapat diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya sekitar 80% dari protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah protein glubular (misalnya, laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum albumin), yang terkandung dalam air dadih. Kasein sering dianggap kurang imunogenik karena strukturnya yang fleksibel, tidak padat. Secara historis, lactoglobulin merupakan alergen utama dalam intoleransi protein susu sapi. Namun, polisensitisasi beberapa protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien dengan alergi terhadap protein susu sapi.
Protein component
Molecular weight (kd)
Percentage of total protein
Alerginisitas
Stability in the temperature 100˚C
β –lactoglobulin
18.3
10
+++
++
Casein
20-30
82
++
+++
α -lactalbumin
14.2
4
++
+
Serum albumin
67
1
+
+
Immunoglobulins
160
2
+
-
Tabel : Karakteristik komponen protein pada susu sapi

Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana terdapat banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam) dan proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindung-pelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi.

Patomekanisme
Reaksi yang diperantarai oleh non-IgE dapat disebabkan oleh banyak faktor, yang melibatkan kompleks imun antibodi IgA atau IgG, atau yang dikenal dengan hipersensitivitas tipe III, dan stimulasi langsung sel T oleh antigen protein susu, atau yang dikenal dengan hipersensitivitas tipe IV. Interaksi ini lalu menyebabkan pelepasan sitokin dan produksi antibodi meningkat, sehingga terjadi rantai reaksi inflamasi.

Reaksi hipersensitivitas tipe III
Antibodi (IgG atau IgM) bereaksi dengan antigen yang berlebih, diikuti perlekatan komplemen, dengan akibat respon keradangan lokal. Reaksi berlangsung dalam beberapa jam sesudah pemaparan antigen. Dikemukakan reseptor Fc untuk imunoglobulin dan bukannya komplemen yang penting dalam kerusakan jaringan. Reaksi gastrointestinal dapat terjadi 6 jam setelah pemaparan berupa muntah, diare dan kolik, serta peningkatan lokal dari IgM dan sel plasma IgA. Dalam jangka 24 jam berikutnya akan terlihat sembab lokal, reaksi endotel, penebalan membran dasar, penimbunan serat kolagen dan infiltrasi lekosit polimorf. Terjadi pula peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam jaringan ikat subepitelial yang menunjukkan adanya reaksi kompleks imun. Pada tahap ini mulai terlihat kerusakan enterosit yaitu mikrovili yang menjadi tidak teratur, peningkatan lisosom dan pembengkakan mitokondrial. Selain penimbunan lokal, kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan imunoglobulin (IgG dan IgE) terlihat pula dalam serum penderita alergi makanan (Mac Donald dalam Pitono, 2003)

Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Delayed type hypersensitivity reaction=DTH)
DTH mencerminkan fenomena imunitas dengan perantaraan sel CMI (cell-mediated immunity). DTH merupakan mekanisme imunologik yang paling jelas perannya terhadap kerusakan mukosa usus yang berat. DTH adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antigen dengan limfosit T spesifik terhadap antigen tersebut dikenal sebagai sel DTH (Pitono S dkk, 2003, Siti Boedina Kresna, 1996) Antigen menembus mukosa usus melalui Plaques Peyeri, ditangkap sel APC, sel dendritik atau makrofag. Selanjutnya disajikan pada sel T yang mengikat MHC II, akan memacu Th1 menghasilkan IFN-γ. Sel akan bermigrasi pada lamina propria yang juga memacu Th1 lebih banyak dan menghasilkan IFN-γ. IFN-γ ini menyebabkan keradangan dan kerusakan mukosa usus. Sitokin lainnya adalah TNF-α dan IL-1β yang akan menghasilkan berbagai metaloproteinase yang merusak mukosa (Mowatt, 1994 dalam Pitono, 2003)

Gejala klinik
Enteropati protein makanan ini sering terlihat pada bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan gejala diare (tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia. CMPSE merupakan penyebab utama sindroma ini, walaupun terdapat pula asosiasi dengan soya, telur, gandum, nasi, ayam, dan ikan pada anak yang lebih besar. Pada biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak merata disertai infiltrat seluler yang khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi, didapatkan IgA dan IgG serum yang meningkat.
CMPSE pada anak usia 6 bulan dan jarang setelah 3 tahun reaksi alergi bisa terjadi di usus dengan gejalanya mual, muntah, dapat disertai urtikaria, dermatitis atopi, wheezing, dan kadang kadang gagal tumbuh karena proses kronik. Diare dapat menyebabkan dehidrasi berat.
Pada bayi, awal reaksi bisa terjadi di kolon dan rectum. CMPSE akan timbul setelah minum susu beberapa hari atau minggu, dengan gejala perdarahan kolon dan rektum, diare disertai lendir dan darah (Chong S et al, 1984). Protein-losing enteropathy dapat menyebabkan edema, distensi abdomen, anemia, malnutrisi (dalam Hegar B, 2007).

Diagnostik
CMPSE dikenal sebagai penyebab penting dari diare persisten dan malabsorpsi pada anak-anak, tetapi belum ada kriteria diagnostik yang berlaku umum. Kombinasi antara pendekatan klinik dan histologik untuk diagnosis CMPSE telah digunakan pada beberapa pasien dan beberapa kriteria berikut diusulkan : (1) Klinis penyakit (diare dengan atau tanpa muntah) saat menerima protein susu sapi. (2) Perbaikan klinis pada diet bebas dari protein susu sapi. (3) Normal atau agak abnormal histologi mukosa jejunum ketika diambil 6-8 minggu setelah gejala mereda. (4) Histologik kambuh, dengan atau tanpa kekambuhan klinis, setelah paparan ulang terhadap protein susu sapi.

Tatalaksana
Tatalaksana yaitu eliminasi nutrisi alergen CMP, koreksi anemia dan malnutrisi.
Prognosis
CMPSE menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun.



Kesimpulan :
Penjelasan di atas berisi tentang alergi terhadap protein susu sapi, baik yang diperantarai IgE (CMPA) maupun yang tidak diperantarai IgE (CMPSE).
CMPSE (enteropati protein makanan yang termasuk dalam gangguan hipersensitivitas dengan perantaraan non-IgE), melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe III (disebabkan oleh banyak faktor) dan tipe IV (karena antigen protein susu sapi). Gejalanya diare (tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia, tetapi belum ada kriteria diagnostik yang berlaku umum. Tatalaksana yaitu eliminasi nutrisi alergen CMP, koreksi anemia dan malnutrisi. Prognosis baik, CMPSE menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar