Selasa, 24 September 2013

PEDIATRI-SINDROMA NEFROTIK


  


·         Pendahuluan
Penyakit ginjal yang berasal dari glomerulus pada umumnya menunjukkan tiga manifestasi klinik utama, yaitu hematuria dan atau proteinuria yang bersifat asimtomatik, sindrom nefritik akut yang ditandai dengan hematuria, edema, hipertensi, dan berbagai derajat insufisiensi ginjal serta sindrom nefrotik.
Istilah sindrom nefrotik ditujukan terhadap penyakit yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoproteinemia/hipoalbuminemia, dan edema. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia dengan berbagai tingkat dapat terjadi pada sindrom nefrotik, meskipun tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnostik.

Etiologi
·         Secara etiologi, sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi primer dan
sekunder
·         Sindrom nefrotik primer menunjukkan bahwa penyakit terbatas pada ginjal dan umumnya penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik)
·         sindrom nefrotik sekunder terjadi apabila terdapat manifestasi penyakit sistemik di luar ginjal atau terdapat penyebab yang spesifik

Berdasarkan gambaran histopatologis sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi ke dalam sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan sindrom nefrotik kelainan nonminimal (SNKNM). Bentuk tersering SNKNM pada anak adalah
·         glomerulosklerosis fokal segmental,
·         glomerulonefritis membranoproliferatif
·         nefropati membranosa.

Berdasarkan respons terhadap pengobatan steroid, sindrom nefrotik dikelompokkan ke dalam :
·         sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) 
·         sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).
·         Untuk kepentingan praktis, para klinisi umumnya lebih menyukai klasifikasi berdasarkan respons terhadap pengobatan steroid.

Patogenesis
·         Proteinuria
·         Proteinuria dianggap sebagai kelainan primer pada sindrom nefrotik, sedangkankelainan lain dianggap sekunder terhadap proteinuria.
·         Laju ekskresi protein untuk mendiagnosis penyakit sindrom nefrotik adalah 1 gram/24 jam, sedangkan peneliti lain menganjurkan angka 50 mg/kgbb/24 jam dan 40 mg/m2/jam.
·         Haycock menggunakan angka 100 mg/m2/jam untuk mendiagnosis proteinuria masif pada penderita sindrom nefrotik.
·         Mekanisme yang menerangkan terjadinya proteinuria belum jelas, tetapi diduga yang berperan dalam kejadian ini adalah kelainan imunologis.

Fisiologi glomerulus
·         Filtrat glomerulus dibentuk dari ultrafltrasi plasma yang menembus dinding kapiler glomerulus. Struktur dinding kapiler glomerulus terdiri atas 3 lapisan, yaitu bagian dalam yang disebut endotel dan mengandung banyak lubang (fenestra), membrana basalis glomerulus yang membentuk suatu lapisan berkesinambungan antara sel endotelial dan mesangial di satu sisi serta sel epitel di sisi lain. Lapisan ketiga yang merupakan bagian paling luar adalah epitel yang terdiri atas sel yang sangat spesifik yang disebut podosit. Podosit ini dipisahkan oleh celah diafragma yang dianggap dapat menahan filtrasi albumin.
·         Komponen plasma dapat melewati fenestra endotel dan mencapai membrana basalis glomerulus tanpa hambatan. Molekul-molekul kecil lalu masuk ke ekstraselular melintasi membrana basalis dan menembus pori-pori podosit, sedangkan albumin dan protein plasma lain yang besar akan diseleksi oleh membrana basalis glomerulus sesuai dengan ukuran dan muatan molekulnya.
·         Meskipun albumin mempunyai berat molekul kecil (70-150 kd), akan tetapi tidak dapat melewati membrana basalis glomerulus karena adanya sawar muatan yang bersifat negatif, sedangkan mekanisme sawar ukuran pada membrana basalis glomerulus akan menghambat molekul protein yang lebih besar (lebih dari 150 kd)
·         Teori terbaru terjadinya proteinuria adalah gangguan pada struktur dan fungsi dari podosit yang menghasilkan nefrin. Pada penelitian ginjal janin manusia diketahui bahwa selama tahap glomerulogenesis, maturasi celah diafragma tidak akan terjadi bila tidak ada nefrin. Karena itu bila ada mutasi gen pembentuk nefrin (NPHS1). Maka nefrin tidak terbentuk sehingga filamen (gambaran mikroskop elektron celah diafragma) juga tidak ada, akibatnya akan terjadi proteinuria masif. Keadaan ini menerangkan terjadinya proteinuria pada sindrom nefrotik kongenital.

Mekanisme proteinuri pada SN
·         Meskipun patogenesis proteinuria pada penderita SN masih belum jelas, akan tetapi bukti-bukti terbaru memperkirakan SN ini terjadi karena gangguan pada
·         limfosit T. Adanya hubungan sindrom nefrotik dengan penyakit yang berkaitan dengan gangguan proliferasi sel T, seperti limfoma Hodgkin, serta terjadinya remisi pada penderita sindrom nefrotik yang diinduksi oleh penyakit campak dan malaria yang bersifat menekan sel T, menyebabkan beberapa peneliti menganggap sindrom nefrotik terjadi akibat gangguan fungsi sel T.14,15

·         Shalhoub membuat hipotesis bahwa klon sel T abnormal dapat menghasilkan sitokin yang bersifat toksik terhadap membrana basalis glomerulus dan mengakibatkan perubahan permeabilitas glomerulus terhadap protein.

·         Berbagai sitokin yang dilepaskan, seperti interleukin akan mengakibatkan proses inflamasi pada dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan permeabilitasnya meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran protein melalui dinding kapiler glomerulus (proteinuria yang terjadi secara size selectivity). Di pihak lain, interleukin yang dilepaskan tadi akan menyebabkan katabolisme proteoglikan heparan sulfat pada dinding kapiler glomerulus, sehingga muatan negatif pada dinding kapiler glomerulus menjadi hilang dan protein yang bermuatan negatif bisa bocor (proteinuria yang terjadi secara charge selectivity).


limfosit T pada SN
·         Pada SNKM tampak perubahan jumlah populasi CD4+ dan CD8+ sel T selama terjadinya penyakit.17 Dengan rangsangan antigen, CD4+ dan CD8+ akan menghasilkan IL-2 yang berperan penting pada respons imun selular dan humoral. Pada penderita SN sensitif steroid produksi IL-2 berkurang, hal ini terjadi karena peningkatan supressor-inducer (CD45RA+CD4+) dan supressor effector (CD45RA+CD8+), sedangkan aktivitas sel memori (CD45RO+CD4+) menurun. Penurunan produksi IL-2 pada SN juga terjadi karena gangguan diferensiasi dan ekspansi subset sel Th1.18 Selain produksi IL-2 yang menurun, juga terjadi peningkatan CD4+CD25+ sel T natural (yang merupakan reseptor IL-2 rantai α) yang bersifat supresif. Sifat supresif ini berhubungan dengan penurunan regulasi IL-2.

Hiperkolestrolemia
·         Patogenesis terjadinya kenaikan lipid dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sangat kompleks, oleh karena adanya pengaruh timbal balik proses metabolisme lipoprotein. Keadaan hipoproteinemia/hipoalbuminemia akan menyebabkan kompensasi pembentukan berbagai jenis protein termasuk lipoprotein oleh hati sehingga pada penderita sindrom nefrotik dapat ditemukan adanya hiperkolesterolemia. Selain itu klirens lemak yang berkurang menyebabkan terjadinya peningkatan lemak dalam darah.


Manifestasi SN
·         Edema
·         Edema merupakan keluhan yang paling penting dan terdapat kira-kira 95% penderita SN, tidak tergantung pada jenis kelainan histopatologinya. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Sifat edema seringkali kurang nyata pada awal perjalanan penyakit, dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Edema minimal terlihat oleh orang tua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema. Lambat laun edema menjadi menyeluruh , yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua sering mengeluh berat badan tidak naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka saat bangun tidur, sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri, di sekitar pergelangan kaki pada sore hari. Edema dapat berlanjut menjadi asites, efusi pleura,,edema di skrotum/vulva, edema bersifat umum yang disebut anasarka dan bersifat “pitting”.
·         Pada SNKM edema timbul secara lebih cepat dan lebih berat, progresif dalam beberapa hari atau beberapa minggu.
·         Keluhan umum penderita yang sering terjadi adalah anoreksia, yang berhubungan dengan beratnya edema, iritabel dan mudah lelah.
·         Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif, diduga berhubungan dengan
·         edema mukosa dinding usus. Nyeri perut kadang ditemukan, dapat merupakan gejala hipovolemia dan peritonitis.
·         Oliguria sering terjadi terutama selama kambuhnya sindrom nefrotik. Oliguria/ anuria merupakan gejala gagal ginjal akut. Adanya efusi pleura, edema paru dan asites yang banyak biasanya terjadi keluhan distres respirasi.
·         Demam dan gejala infeksi dapat dijumpai pada anak SN antara lain infeksi kulit dan peritonitis.
·         Infeksi saluran kemih dapat terjadi dan mungkin merupakan penyebab gagalnya pengobatan SN.
·         Tekanan darah pada umumnya normal atau rendah, namun dapat meningkat pada 15-20% penderita. Tekanan darah yang meningkat terutama terdapat pada penderita SN sebagai akibat sekresi renin, aldosteron, dan hormon vasoaktif lain, yang berlebihan. Hipertensi anak lebih sering terdapat pada SN bukan kelainan minimal, etiologi hipertensi pada SN diperkirakan multifaktorial.
·         Penderita SN mempunyai risiko besar untuk mengalami hipovolemia, sampai syok hipovolemik.
·         Nyeri abdomen pada SN dapat merupakan gejala hipovolemia dan peritonitis.

Pemeriksaan laboratorium
·         Pemeriksaan laboratorium menunjukkan proteinuria masif, yaitu lebih dari 40 mg/m²/jam, atau rasio protein dan kreatinin lebih dari 2 mg per mg dalam urin sewaktu, atau dengan dipstik lebih dari 2+.
·         Temuan lain pada urinalisis adalah peningakatan berat jenis (BJ) dan pH urin, leukosituria, double refractile lipoid bodies dan silinder hialin. Dua puluh dua persen penderita SN menunjukkan hematuria mikroskopik sementara. sedangkan hematuria gros sangat jarang ditemukan
·         Pemeriksaan darah ditemukan hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 mg/dL), dengan rasio albumin dan globulin yang terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal, meskipun 32% menunjukkan peningkatan kreatinin plasma yang bersifat sementara.
·         Hiperkolesterolemia tidak selalu ditemukan, Disebut kolesterolemia bila kadar kolesterol >250 mg/dL. Akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat namun beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah
·         Konstituen lemak itu adalah: kolesterol, LDL, VLDL dan Trigliserida. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL akan diubah oleh lipoprotein lipase menjadi LDL. Tetapi pada SN, aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas.
·         Disamping menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. Jadi hiperkolesterolemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid. Biasanya kadar kolestrol total, LDL, VLDL meningkat, sedang kadar HDL normal
·         Gambaran darah tepi menunjukkan tanda hemokonsentrasi berupa peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit. Jumlah trombosit dan agregasi trombosit meningkat. Ciri khas dari SNKM adalah tidak adanya hematuria persisten, insufiensi ginjal (peningakatankadar ureun, kreatinin dan oliguria) , hipertensi dan penurunan kadar komplemen.


Menegakkan diagnosis SN
·         Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
·         Selain edema sesuai berat ringannya penyakit, perlu dicari gejala lain seperti pada manifestasi klinis di atas seperti anoreksia, gejala infeksi, nyeri perut dan diare. Pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut dan tekanan darah.


Pemeriksaan penunjang
·         Urinalisis dan bila perlu biakan urin
·         Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24  jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
·         Pemeriksaan darah :
o    a. Darah tepi lengkap           (hemoglobin,leukosit,hitung jenis, trombosit,                 hematokrit dan Laju Endap Darah /LED)
o    b. Kadar albumin dan kolesterol plasma
o    c. Kadar ureum, kreatinin, serta kliren kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwart.
o    d. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (antinuclear antibody) dan anti ds-DNA


Diagnosis banding SN
·         Sembab non-renal :
o    Kardial (gagal jantung kongestif)
o    Nutritional (gangguan nutrisi)
o    Hepatal (penyakit hepar kronis)
·         Glomerulonefritis akut
·         Lupus sistemik eritematosus

Beberapa istilah dalam SN
·         Remisi Albumin urin negatif atau trace (atau proteinuria 4mg/mg/m2/jam) dalam 3 kali pemeriksaan berturut- turut dalam 1 minggu.
·         Relaps Albumin urin 3+ atau 4+ (atau proteinuria > 40 mg /m2/jam)
·                                 dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut per tahun pengamatan, pada pasien yang telah mengalami remisi.
·         Relap sering Kambuh 2 kali atau lebih dalam 6 bulan pertama setelah remisi, atau kambuh 4 kali atau lebih dalam 1 tahun.
·         Relap jarang kambuh kurang dari 2 kali dalam 6 bulan setelah remisi, atau kurang dari 4 kali dalam periode 1 tahun.
·         Dependen steroid kambuh 2 kali berurutan pada saat dosis steroid diturunkan /alternating atau dalam 14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan.
·         Resisten steroid tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
·         Sensitif steroid Remisi terjadi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.


Pengobatan SN : Steroid
·         Sebelum memulai pengobatan steroid, harus dilakukan pemeriksaaan berat badan, tinggi badan dan tekanan darah pasien. Pemeriksaan berat badan secara rutin setiap hari sangat membantu untuk memonitor berkurang atau bertambahnya edema. Pemeriksaan fisik untuk mencari adanya fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, atau cacingan dan adanya gejala penyakit sistemik, antara lain lupus eritematus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
·         Apabila didapatkan adanya tanda-tanda infeksi, maka perlu dieradikasi terlebih dahulu sebelum pengobatan steroid dimulai. Melakukan uji mantoux, dan apabila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan dan apabila didapatkan tuberkulosis diberikan obat anti tuberkulosis (OAT), bersamaan dengan pemberian steroid.
·         Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada episode awal adalah urinalisis; protein urin kwantitatif menggunakan urin tampung 24 jam atau rasio protein/kreatinin urin pertama pagi hari; biakan / kultur urin dilakukan apabila didapatkan gejala klinis dan urinalis mengarah infeksi saluran kemih; pemeriksaan darah tepi lengkap; albumin dan kolesterol serum; elektrolit serum; ureum dan kreatinin; pada anak usia ≥ 10 tahun atau apabila ditemukan gejala LES diperlukan pemeriksaan kadar komplemen C3, anti nuclear antibody (ANA), serta anti ds-DNA.


Pengobatan suportif
·         Pengobatan awal sindrom nefrotik idiopatik pada anak bersifat suportif dan ditentukan oleh status klinis pasien. Sindrom nefrotik pada anak onset pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan tujuan untuk pemeriksaan dan monitoring pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid dan edukasi orangtua atau keluarga tentang penyakit tersebut
·         Pemberian nutrisi yang optimal termasuk protein yang berkualitas tinggi dalam jumlah yang cukup, adalah penting untuk pertumbuhan. Pemberian diit tinggi protein merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan dapat menyebabkan sklerosis glomerulus. Diit protein yang direkomendasikan berdasarkan RDA (recommended daily allowances), yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari. Pasien sebaiknya mengikuti diit rendah garam (1-2 g/hari), selama pasien masih edema (Hodson, 2003)
·         Keseimbangan cairan harus dimonitor ketat pada masa awal perawatan. Retriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan diuretika, yang dipilih adalah loop diuretic, misalnya furosemid dengan dosis 1-3 mg/kgbb/hari intravena, bila perlu dapat dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretika hemat kalium) dengan dosis 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretika, harus dipastikan tidak didapatkan adanya hipovolemia. Pada pemakaian diuretika lebih dari 1-2 minggu, perlu dilakukan pemantauan elektrolit serum (natrium dan kalium)
·         Apabila dengan pemberian diuretika tidak berhasil (edema refrakter), biasanya disebabkan karena hipovolemia atau hipoalbuminemia yang berat (albumin serum ≤1 g/dL), untuk menarik cairan dari jaringan, dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb dalam 2-4 jam. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kgbb.
·         Apabila pasien tidak mampu dari segi biaya, maka dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan10 tetes/menit. Pemberian suspensi albumin dapat diberikan selang sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
·         Apabila didapatkan asites berat sehingga mengganggu pernapasan maka dapat dilakukan pungsi asites.


Algoritme pemberian furosemide
·         Furosemid 1-3 mg/kgbb/hari+ spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari. Berat badan tidak menurun atau tidak ada dieresis dalam 48 jam Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari. Ditambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari, bolus furosemid iv 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan 0,1-1 mg/kgbb/jam Albumin 20% 1g/kgbb intravena  Diikuti dengan furosemid intravena


Pengobatan :
·         Kortikosteroid merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan sindrom nefrotik idiopatik pada anak tanpa ada kontraindikasi. Obat yang biasa digunakan adalah prednison atau prednisolon. International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) merekomendasikan dengan dosis 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kgbb (dosis maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, prednison dosis penuh (full dose) diberikan selama 4 minggu.
·         Bila terjadi remisi, dilanjutkan dengan dosis 40 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 1,5 mg/kgbb/hari (2/3 dosis awal), diberikan secara alternating day (selang sehari), satu kali sehari setelah makan pagi, selama 4 minggu. Apabila setelah pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, maka pasien dinyatakan sebagai sindrom nefrotik resisten steroid. Sebagian besar sindrom nefrotik pada anak respon terhadap pemberian steroid.
·         ISKDC melaporkan bahwa 78,1% pasien sindrom nefrotik pada anak respon terhadap pemberian kortikosteroid selama 8 minggu. Respon terhadap pengobatan steroid merupakan indikator penting untuk prognosis sindrom nefrotik.

Pengobatan SN resisten steroid
·         Pengobatan SNRS sampai saat ini masih belum memuaskan . Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya pada pasien SNRS dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal untuk menentukan gambaran histopatologis karena dapat mempengaruhi prognosis.
Obat-obatan yang sering digunakan pada yang resisten steroid
1. Siklofosfamid (CPA)
·         Pengamatan selama 5 tahun pada pemberian secara oral siklofosfamid (2-3mg/kgBB/hari) dan prednison (1mg/kgBB secara alternating day) selama 8-12 minggu dapatterjadi remisi pada 69% pasien dengan SNRS. Pemberian siklofosfamid secara intravena sebulan sekali juga efektif tetapi apakah mempunyai kelebihan daripada pemberian secara oral masih belum jelas. Efek samping yang dapat terjadi adalah supresi sumsum tulang,alopesia, sistitis hemoragik, infertilitas, keganasan, nefrotoksik dan risiko infeksi bakteri. Adanya efek samping toksisitas pada gonad harus diperhatikan. 22 Pemberian CPA oral dan pulse dapat dilihat pada
2. Siklosporin A (CsA)
o    Siklosporin A (CsA) merupakan obat                 pengganti steroid yang efektif dan    aman      dalam pengobatan sindrom                 nefrotik.                 Mekanisme kerja   CsA         adalah    menghambat produksi IL-   2.             Angka     respon terhadap                pemberian             CsA saja                 sebesar 30%,         sedangkan             dengan   pemberianCsA yang dikombinasi dengan            steroid sebesar 40-50%.
·         Efek samping CsA antara lain hipertrikosis (50%), hiperplasia gusi (40%), hipertensi dan nefrotoksisitas kronis (30%).  Oleh karena itu pada pemberian CsA perlu pemantauan : (1) Kadar CsAdalam darah dipertahankan antara 100-200 nanogram/ml, (2) Kadar kreatinin darah secara berkala, (3) Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Metilprednisolon pulse
·         Protokol pengobatan dengan metilprednisolon pulse bersamaan dengan prednison atau siklofosfamid oral, dapat memberikan remisi total pada pasien dengan SNRS kelainan minimal atau GSFS. Protokol pengobatan metilprednisolon pulse tersebut dikenal sebagai protokol Mendoza (Tabel 2). Efek samping pemberian metilprednisolon pulse antara lain gangguan hormon pertumbuhan dan osteoporosis.


Komplikasi SN
Infeksi
o    Infeksi akibat bakteri
·         Pasien anak yang menderita sindrom nefrotik  memiliki risiko untuk menderita sepsis bacterial, kondisi ini timbul ketika anak mendapatkan terapi antibiotika golongan penicillin. Infeksi yang paling sering terjadi adalah peritonitis akibat Streptococcus pneumoniae, kadangkala septikemi dapat pula timbul akibatbakteri Haemophillus influenza dan organisme bakteri gram negative lainnya.
·         Kulit yang teregang dan adanya edema subkutan mencetuskan terjadinya selulitis. Infeksi seringkali terjadi akibat adanya perburukan pada sistim imunitas humoral tubuh, dimana kadar Ig G akan mengalami penurunan dan adanya aktivasi komplemen melalui jalur alternatif yang timbul akibat kehilangan faktor B dari urin dan adanya plasma nefrotik akan mengakibatkan perburukan terhadap fungis limfosit.
·         Terapi dengan menggunakan kortikosteroid dan obat – obatan imunosupresif akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi

o    Infeksi akibat virus
·         Insiden terjadinya infeksi viral meningkat seiring dengan pemberian terapi steroid ataupun obat – obatan imunosupresif . Timbulnya relaps pada umumnya dicetuskan pula oleh infeksi virus.
·         Tetani
·         · Gagal Ginjal Akut
·         Thrombosis dan thromboemboli
·         Retensi Sodium
·         Hipovolemia
·         Hiperlipidemia
·         Gagal tumbuh kembang dan atrofi otot / Muscle wasting akibat deplesi protein.
·         Anemia

Komplikasi yang disebabkan oleh pengobatan

·         Diet yang salah dapat mengakibatkan malnutrisi ataupun Pemberian penisilin dapat mengakibatkan timbulnya peritonitis yang disebabkan oleh Streptococcus
·         Pemberian kortikosteroi
o    Pertumbuhan terhambat / pendek
·         Supresi adrenal
·         Osteoporosis dan peningkatan risiko terjadinya patah tulang
·         Ulcus peptik
·         Hipertension
·         Katarak, tetapi katarak akan dapat membaik setelah pemberian steroid dihentikan
·         Peningkatan tekanan intrakranial
·         Jerawat
·         Diabetes
·          Pankreatitis
·         Penebalan lentikular posterior
·         Myopathy
·         Timbulnya proses nekrosis pada tulang
·         Perubahan sifat dan suasana hati umum terjadi

Prognosis
·         Pada umumnya anak yang menderita sindrom nefrotik disebabkan oleh sindrom nefrotik jenis kelainan minimal yang memberikan respon yang cukup baik terhadap pemberian prednisone. Mortalitas pada sindrom nefrotik dengan kelainan minimal adalah sekitar 2%, dan pada umumnya disebabkan oleh peritonitis ataupun oleh akibat trombus, yang akan timbul walaupun diberikan pengobatan yang adekuat




3 komentar: